Azyumiardi Azra (1999) menjelaskan bahwa salah satu ciri-ciri Pendidikan Islam adalah kecintaan dan penghormatan yang sangat tinggi terhadap sumber Ilmu. Hal demikian ini sedemikian penting di dalam Pendidikan Islam khususnya di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Kita juga melihat bahwa beberapa teoritisi pendidikan Islam seperti Az-Zarnuji di dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim-nya juga menampakkan hal yang sama. Hal demikian pula terjadi di dalam kitab Adab Al-Alim wa Al-Mut’allim. Sebuah kitab yang ditulis oleh Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari dari Jombang Jawa Timur.
Kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim ini memang tidak sedemikian populer dibandingkan dengan karya Az-Zarnuji jika ditinjau dari segi penggunaannya di dalam kurikulum pesantren di Nusantara. Karya Az-Zarnuji nampaknya memang lebih memiliki pengaruh kuat di kalangan pesantren setidaknya jika kita merujuk pada laporan Martin van Bruinnessen (1995) menganai kitab ini dan perbincangan ulama akan kitab ini. Akan tetapi kiranya tulisan ini tidak bermaksud menjadi sebuah kajian perbandingan akan keduanya. Pengungkapan mengenai faktor-faktor yang saling berkait dalam fakta ini juga membutuhkan ulasan dalam tulisan tersendiri.
Tulisan ini lebih bermaksud untuk mengungkapkan pengaruh pemikiran Imam Al-Ghazali dalam kitab Adab Al-Alim wa Al-Muta’allim. Dalam rangka hal ini, maka pembahasan akan ditinjau dari sudut pandang epistemologi Al-Ghazali mengenai sumber Ilmu Pengetahuan. Hal ini kiranya penting dilakukan sebagai suatu kacamata analisa terhadap apa yang kiranya dapat diungkap dari kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim.
Epestemologi Al-Ghazali
Sebagaimana diungkapkan dalam Al-Muqidz min Ad-Dlalal (1988), Al-Ghazali menjelaskan bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya bersumber dari Allah. Dalam kaitannya dengan ini maka manusia bisa mendapatkannya dari suatu otoritas yang paling memungkinkan untuk itu yaitu: guru (syaikh). Bimbingan syaikh dalam hal ini menjadi begitu penting adanya dalam perjalanan hidup manusia dalam belajar. Dari sinilah kita mengetahui perkara yang benar (haq) dan yang salah (bathil). (Al-Ghazali, 1988).
Hal yang melatarbelakangi pendapat Al-Ghazali yang demikian itu didasarkan kepada perenungannya dalam waktu yang panjang selama perjalanan ilmiahnya dari Persia tempat tinggalnya sampai ke Baghdad di mana ia mengajar banyak murid di sana. (Al-Ghazali, 1988). Al-Ghazali juga mengungkapkan bahwa sejauh perjalanan intelektualnya itu, ia menggunakan paradigma rasionalisme dan idealisme ala filsuf Yunani klasik seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pandangan ini dipegang dan digunakan sebagai konstruksi berpikir Al-Ghazali selama waktu yang demikian panjang. (Al-Ghazali, 1988)
Namun konstruksi demikian ini kemudian runtuh (atau ia runtuhkan?) setelah dalam suatu perenungannya pada umurnya yang menginjak 50-an. Suatu proses yang membawanya ke dalam suatu kondisi sakit baik fisik maupun mental selama beberapa waktu. Kajatuhannya dalam kondisi sakit itu dilatar-belakangi sebuah anomali dalam pikirannya dalam konstruksi pikiran yang sudah lama dipegangi secara kuat. Ia memulai anomali itu dengan menyatakan bahwa: ‘tangkapan inderawi itu tidaklah meyakinkan karena sering menipu kita.’ Bintang-bintang yang terlihat kecil, secara faktanya jika kita menggunakan teori ilmu geometri ternyata tidak demikian, melainkan bahkan lebih besar dari pada bumi tempat kita berpijak. (Al-Ghazali, 1988). Suatu contoh juga seperti demikian seperti: ‘sendok yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air akan terlihat bengkok. Tapi ia tidak benar-benar bengkok, melainkan hanya tangkapan inderalah yang menyatakan demikian.
Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kebenaran akali (logis), juga tidak mampu menjadi pembimbing (hakim) yang baik. Meskipun Al-Ghazali masih tetap menerima—tidak bisa tidak—logika silogisme Aristotelian. Ketidak-mampuan akal dalam memecahkan masalah, dalam argumentasi Al-Ghazali adalah kenyataan empiris bahwa hal yang aneh dari mukjizat-mukjizat yang dialami para nabi yang muncul dalam sejarah manusia. Kenyataan-kenyataan mukjizat yang pernah terjadi dalam sejarah seperti: tongkat yang menjadi ular, nabi Ibrahim yang tidak bisa dibakar adalah fakta-fakta empiris yang tidak bisa dianalisa oleh akal. (Al-Ghazali, 1988). Dalam waktu sekitar 100 tahun kemudian, pandangan ini mendapatkan tantangan dan bandingan dari Ibnu Rusyd (1998).
Di dalam kondisi anomali seperti itu, dan dalam sakit (mental dan intelektual)-nya, kemudian Al-Ghazali merasakan proses ‘ketercerahan pikiran’ (lightening). Dalam ketercerahan pikiran tersebut, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat ilmu adalah tersingkapnya pengetahuan yang tidak mengandung keraguan, tidak mengandung kesalahan, dan tidak didasarkan kepada prasangka. Hal demikian ini memungkinkan jika pengetahuan tersebut didapatkan melalui ‘pencerahan’ Tuhan. Pengetahuan ini kemudian diistilahkan dengan ‘mukasyafah’. Dalam kondisi seseorang yang mukasyafah ini, maka semua fenomena yang ditangkap oleh indera, meskipun dia adalah ‘ganjil’ (aneh) adanya dan tidak memungkinkan secara logis, adalah dapat diterima bagi orang yang sudah memiliki pemikiran yang ‘tercerahkan’ yang disebut dengan ‘mukasyafah’. (Al-Ghazali, 1988).
Hal yang penting dari epestemologi ini adalah pertanyaan mengenai: ‘bagaimana manusia dapat meraih kondisi pikiran yang tercerahkan atau mukasyafah itu?’. Di dalam hal ini maka—sebagaimana dikatakan M. Amin Abdullah (2002), tidak kembali kepada kebenaran rasio, melainkan—Al-Ghazali kembali kepada kebenaran otoritatif. Kebenaran otoritatif ini pada dasarnya didapatkan langsung dari Allah. Namun dalam proses perjalanan ‘seorang murid’ mencapai mukasyafah itu ia harus mendapatkan bimbingan guru (mursyid). (Al-Ghazali, 1988). Seorang guru pembimbing ini adalah seorang yang telah mencapai kondisi mukasyafah tersebut.
Apa yang Terlihat dari Kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim?
Epestimologi Al-Ghazali inilah yang kemudian menjadi muara pendidikan Islam tentang konsep mencintai sumber ilmu sebagaimana diungkapkan Azyumiardi Azra (1999) sebagaimana diungkapkan dalam awal wacana tulisan ini. Pandangan inilah yang kemudian pula menjadi suatu ideologi pendidikan Islam dalam semua pemikirian kaum terdidik muslim. Epestimologi ini pula yang kemudian menjadikan konsep pendidikan Islam menjadi sangat menekankan moralitas sehingga bisa disebut sebagai moralitas pendidikan.
Kita melihat, corak-corak epistemologi Al-Ghazali sebagaimana diungkapkan di atas di dalam kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim karya Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari. Hal ini kiranya dapat kita lihat dalam 10 (sepuluh) bab pembahasan kitab ini. Secara ringkas pembahasan tersebut dapat dijelaskan seperti ini:
Bab pertama membahas tentang keutamaan ilmu, keutamaan belajar, dan keutamaan mengajar. Dalam bab ini terdapat satu pasal yang menekankan bahwa keutamaan-keutamaan tersebut dikhususkan kepada para ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya. Hal demikian ini dapat koheren dengan pendapat Imam Ghazali yang megatakan bahwa: kegiatan ilmu dan mengajar adalah amal yang paling utama dalam hidup. Pendapat ini terlihat dalam karya-karya Imam Al-Ghazali baik secara tersirat seperti dalam Al-Muqidz min Ad-Dlalal maupun secara eksplisit seperti dalam Ihya’ Ulum Ad-Din (2005).
Bab kedua menjelaskan mengenai 10 (sepuluh) etika seorang murid terhadap dirinya sendiri. Menarik dijelaskan di sini bahwa seorang murid dalam kehidupan belajarnya harus senantiasa menjaga diri untuk hidup serba sederhana (zuhud). Mampu bertahan dalam kesederhanaan hidup dan menahan diri dari hidup berfoya-foya. Kiranya hal ini koheren dengan pendapat Imam Al-Ghazali dalam ihya’ yang menyatakan bahwa kemuliaan hidup bagi seseorang bila ia merasa cukup dengan hidup hanya dalam mengajar. Pengabdian terbaik dalam hidup seseorang adalah pengabdian dalam ilmu dan dengan jalan mengajar. (Al-Ghazali, 2005)
Bab ketiga membicarakan tentang 12 (dua belas) etika seorang murid terhadap gurunya. Ini merupakan point yang sangat mencolok untuk dilihat sebagai pengaruh pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim. Tatakrama bahwa seorang murid haruslah menundukkan pandangan di depan gurunya dan di larang melihat wajahnya. Pernyataan bahwa harus berkata sopan di depan seorang guru dan membelanya ketika ada seseorang yang mengancam sang guru merupakan budaya belajar yang dikembangkan dengan baik di dunia Islam. Demikian pula hal ini koheren dengan epestimologi Al-Ghazali di mana ia mengatakan bahwa seorang mursyid adalah satu-satunya hal yang dapat diakses seorang murid dalam perjalannya mendapatkan pencerahan dari Tuhan. Di sisi lain hal ini kiranya sangat kontras dengan kebudayaan pendidikan barat di mana, seorang murid dapat saja berseberangan dengan gurunya. Di mana jika kita runut kebelakang, bertemu dalam sejarahnya dalam pertentangan antara Aristoteles dengan gurunya yaitu Plato mengenai hakikat realitas.
Kiranya, ketiga bab di atas adalah pembahasan-pembahasan yang paling menampakkan corak epestimologi Al-Ghazali. Pembahasan dalam sisa bab yang lain lebih berkaitan dengan moralitas seorang berilmu dan tanggung jawab sosialnya. Suatu pembahasan yang kiranya lebih pas ditinjau dari sudut pandang teori nilai (aksiologi) ilmu.
Malang, 19 Nopember 2020
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Kontak korespondensi: 085233670202 (wa) / e-mail: kholis3186@gmail.com