Rabu, 10 Maret 2021

ANTARA LANGGHAR BHAQAF DAN SUMBER MATA AIR

 Pendahuluan

Dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam di Indonesia, selain arsitektur masjid dengan beragam fungsinya, terdapat pula beberapa bangunan yang secara fisik lebih kecil yang dalam beberapa hal bisa dikatakan sama dalam fungsinya. Dalam Masyarakat Madura, bangunan tersebut ada yang dinamakan sebagai Langghar, Kobhung, dan Bhaqaf. Kesamaan dalam fungsi ini kiranya berlangsung secara organis berada di dalam suatu kesamaan visi para pendakwah Islam di Nusantara. Beberapa dari bangunan ini telah dibahas seperti oleh Nor Hasan dalam artikelnya berjudul: “Kobhung, Bangunan Tradisional Masyarakat Madura” (2012); Kholis di dalam: “Kobhung dalam Tradisi Sosial, Agama dan Ekonomi Orang Madura” (2019), maupun yang bersifat penggalian oleh Mohsi di dalam artikelnya berjudul: “Langghar, Kophung Dan Bhaqaf; Konservasi Kebudayaan Khazanah Keislaman Madura” (2019). Kesemua penelitian ini juga mengambil latar kebudayaan dan masyarakat madura. Demikian pula kesemua penulis tersebut juga memiliki kesamaan di dalam menjelaskan fungsi kobhung di dalam masyarakat Madura yang begitu beragam. 

Selain dari pada itu, para pemerhati seperti Mohsi yang mengatakan bahwa pada dasarnya antara langghar dan kobhung pada dasarnya sama dan hanya berbeda dalam masalah penggunaan istilah dalam masyarakat (Mohsi, 2019:17). Nampaknya penulis lebih setuju kepada apa yang dijelaskan oleh Nor Hasan (Hasan, 2012) yang menjelaskan bahwa perbedaannya adalah bahwa langghar atau mushallah adalah lebih besar dari kobhung, yang menyebabkan yang terakhir ini disebut sebagai mushallah kecil (langghar keni’). Meskipun penulis secara lebih ketat memberikan kesimpulan bahwa keberadaan kohung dalam rumah atau kompleks keluarga madura adalah ciri khas yang tersendiri dari daerah lainnya (Kholis, 2019).

Artikel ini akan membahas secara khusus mengenai apa yang disebut sebagai bhaqaf dalam kebudayaan masyarakat Islam di Nusantara. Penelitian difokuskan pada pengamatan di Madura (Pamekasan) dan Kabupaten Malang Jawa Timur).

Bangunan ‘Bhaqaf’

Selain membahas mengenai langghar dan kobhung, Mohsi dalam jurnalnya juga membahas mengenai satu bangunan di daerah madura yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai bhaqaf. Di dalam artikelnya, Mohsi juga menjelaskan beberapa hal seperti masalah asal mula peristilahan kata bhaqaf dalam bahasa Madura dan juga fungsinya. Dikatakannya bahwa kata bhaqaf berasal dari kata ‘waqaf’ dalam bahasa arab yang berarti “mengalih-milikkan harta tertentu untuk dimanfaatkan dalam kebaikan dan pemanfaatan itu tak menghilangkan harta tersebut.” (Mohsi, 2019:17). Ia juga menjelaskan bahwa bhaqaf adalah suatu bangunan yang terletak di tempat yang jauh dari pemukiman masyarakat; dan berfungsi sebagai tempat melaksanakan ibadah dan beristirahat di sela-sela bekerja di sawah atau ladang. 

Kiranya penjelasan tersebut tidak salah, meskipun tidak pula sepenuhnya benar. Hal ini kiranya akan dilihat dalam beberapa penjelasan sebagaimana berikut ini. Tulisan ini akan menjelaskan beberapa point meliputi: (1) asal mula kata bhaqaf dalam bahasa madura; (2) mengenai letak bhaqaf; (3) Fungsi bhaqaf; dan (4) perkembangan bhaqaf pada masa sekarang.


Makna Kata 'bhaqaf' di Dalam Bahasa Madura

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwasanya Mohsi menjelaskan bahwa kata bhaqaf dalam bahasa Madura adalah kata serapan dari kata waqaf dalam bahasa Arab. Ia kemudian menjelaskan pula bahwasanya kata waqaf berarti “mengalih-milikkan harta tertentu untuk dimanfaatkan dalam kebaikan dan pemanfaatan itu tak menghilangkan harta tersebut.” (Mohsi, 2019:17). Pengertian ini adalah benar adanya secara perisitilahan fiqih (jurisprudensi) Islam sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Malibari (tt); dan Ad-Dimasyqi (tt). Pengertian ini juga didukung oleh penjelasan Mohsi sendiri bahwa pada mulanya bangunan bhaqaf bermula dari keinginan sekelompok masyarakat untuk membangun bangunan tempat ibadah yang dekat sawah atau ladang untuk kemudahan beribadah. (Mohsi, 2019:17)

Kiranya pendapat ini terbantahkan, atau setidaknya kurang kuat adanya. Hal ini karena ada 2 (dua) alasan yaitu: (Pertama) bahwasanya jika kita melihat makna kata ‘waqaf’ secara bahasa dapat berarti: ‘tempat berhenti/perhentian’ (lihat seperti di dalam m’ujam al-ma’ani (on-line). Di dalam Mu’jam Al-Washith disebutkan makna kata ‘waqaf’ secara bahasa dapat berarti ‘tinggal setelah perjalanan’. Hal ini koheren dengan peristilahan dalam ilmu tajwid yang menyatakan bahwa ‘berhenti’ dalam suatu bacaan ayat Al-Qur’an adalah disebut sebagai waqaf. (Kedua); jika saja kemudian kita menjelaskan bahwa kata bahaqaf dalam bahasa madura adalah waqaf yang dalam artinya secara definisi fiqih, yaitu sebagai pengalihan kepemilikan untuk kemaslahatan umum, maka bagaimana halnya dengan mushallah dan masjid yang pada umumnya juga berasal dari tanah waqaf?


Mengenai Letak Bhaqaf

Satu hal yang mungkin kurang mendapatkan perhatian dari penelitian Mohsi tentang bhaqaf adalah letaknya yang identik dengan keberadaan mata air (sumber). Sejauh pengamatan, baik di daerah Madura maupun di Jawa Timur (Kab. Malang), bangunan yang disebut sebagai bhaqaf dalam masyarakat madura dan waqofan dalam bahasa jawa ini terletak di dekat mata air. Hal ini seperti terjadi di Shomber Penang; Shomber Taman; Shomber Kenik di Pamekasan. Juga seperti waqofan yang ada di desa Kepuharjo Kecamatan Karangploso dan Desa Dilem Kecamatan Kepanjen di Kabupaten Malang. Kesemuanya berkaitan dengan keberadaan mata air di sana. Penyebutan nama ‘Shomber’ (mata air) dalam budaya masyarakat madura yang jauh lebih populer dari pada menyebut bhaqaf atau waqofan menunjukkan bahwa keberadaan bangunan ini adalah peran sekunder dari mata air tersebut, meskipun tidak berarti tidak penting.

Setiap shomber tidak selalu ada di sana bangunan bhaqaf atau waqofan, namun bisa dipastikan bahwa setiap bhaqof atau waqofan berada di dekat mata air atau yang disebut shomber. Hal ini dikarenakan peran sekundernya yang kemudian bisa digantikan dengan bangunan lain yang berfungsi sama seperti digantikan dengan bangunan mushallah sebagaimana terjadi di beberapa desa di Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, atau bahkan masjid seperti terjadi di Shomber Bhalang Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan.

Namun demikian, ada satu kasus unik di mata air Shomber Potong di Desa Bandungan Kecamatan Pakong, dimana di sumber ini tidak terdapat bhaqaf, mushallah, atau masjid. Nampaknya hal ini karena berkaitan dengan posisi sumber tersebut yang kurang strategis. Di mana letaknya tidak memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat mandi penduduk atau mencuci pakainannya. Praktis Shomber Potong hanya digunakan untuk mengairi sawah penduduk di sekitarnya. Keberadaan baqaf ini tampaknya berkaitan dengan 2 (dua) hal utama dalam kondisi masyarakat Islam di Nusantara, yaitu: (1) berkaitan dengan perjalanan; dan (2) berkaitan dengan kepentingan air dalam fiqih Islam.


Sebagai Tempat Pemberhentian dan Shalat ketika dalam Perjalanan

Sampai kira-kira tahun 1970-an, kebiasaan berjalan kaki dalam menempuh jarak yang jauh masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat madura. Hal ini seperti tampak dari kisah bagaimana Nyai Jamilah ketika berjalan kaki dari rumahnya di Desa Bandungan Kecamatan Pakong menuju pesantrennya di Pondok Pesantren Sombher Bhatoh kecamatan Blumbungan yang berjarak sekitar 20 km. Ia ketika itu berangkat dengan seorang abdi (kawulo) perempuan ayahnya (Kiai Mahfud) bernama shabhiyeh, yang ditempuh dengan jalan kaki. Selain itu, Shabhiyeh juga harus menggendong puteri Kiai Mahfud yang masih kecil yaitu Nyai Isah. (penuturan pribadi). Demikian pula cerita Pak Mudiran ketika ia diutus Kiai Mahfud untuk mengunjungi (jawa: nyambangi) Nyai Jamilah di pondoknya itu. Dalam kondisi perjalanan jauh yang demikian, maka tentu saja waktu dan tenaga yang dibutuhkan juga haruslah ekstra. 

Dalam kaitannya dengan hal inilah maka bhaqaf atau waqofan menjadi penting artinya. Bhaqaf kemudian menjadi tempat pemberhentian (waqaf) dari perjalanan yang ditempuh sangat jauh itu. Di sinilah maka pemaknaan bhaqaf sebagai serapan dari kata waqaf yang dimaknai tempat pemberhentian menjadi begiatu relevan. Di samping itu, ia juga menjadi tempat peristirahatan atau persinggahan untuk melaksanakan shalat pula di dalam perjalanan itu. Demikianlah diceritakan bahwa dalam perjalanan itu, Nyai Jamilah bersama Shabhiyeh harus beristirahat dahulu di sebuah bhaqaf untuk melepas lelah dan tertidur dalam perjalanan itu bersama dua orang yang ia antar. Hal demikian ini memperkuat makna ‘waqaf’ secara bahasa yang diartikan sebagai ‘berhenti setelah perjalanan.’ (Ibrahim Anis, 2004)

Bahwasanya sebagaimana dijelaskan oleh Mohsi, bhaqaf difungsikan sebagai tempat peristirahatan setelah bekerja, hal tersebut memang benar adanya. Fakta di masyarakat sampai tahun 1990-an masih menunjukkan demikian. Namun demikian, hal ini kiranya bukanlah fungsi utama dari bhaqaf mengingat, para petani tidak selalu beristirahat dan melaksanakan shalat di sana. Justru kenyataan sebagaimana ditunjukkan di Shomber Kenik, Shomber Taman, Shomber Penang, (Pamekasan) dan waqofan di Desa Kepuharjo Kec. Karangploso Kab. Malang lebih menonjol dalam fungsinya sebagai tempat madi warga dan tempat mencuci baju. Banyak di antara masyarakat yang datang ke sumber untuk keperluan keseharian mereka seperti madi dan mencuci baju, namun tidak mampir ke bhaqaf untuk shalat dan istirahat, melainkan langsung pulang.


Berkaitan dengan urgensi air dalam Fiqih Islam

Satu hal yang kiranya juga penting dalam kaitannya dengan bhaqaf sebagai sebuah bangunan, dan juga letaknya yang identik dengan sumber mata air adalah peraturan teknis ibadah yang tertuang dalam kitab-kitab fiqih. Dalam hal ini khususnya adalah fiqih Madzhab Syafi’i. Dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi’i diuraikan dengan begitu detail berkenaan dengan air yang digunakan untuk wudhu’, mandi (wajib) dan sebagainya. Di mana keduanya adalah merupakan syarat dalam melaksanakan shalat. Imam Syafi’i dikenal sebagai salah satu Imam Madzhab yang paling mendetail di dalam pembahasan masalah air, di mana hal ini tidak terdapat (secara mendetail) dalam  madzhab yang lain. Di dalam Madzhab Syafi’i, air dibedakan menjadi musta’mal, mutanajjis. Demikian pula berdasarkan takarannya ke dalam klasifikasi kullah. Hal ini tidak terdapat dalam pendapat para imam yang lain seperti Imam Malik misalnya. (Al-Malibari, tt); (Ad-Dimasyqi, tt).

Dalam kaitannya bangunan bhaqaf dan keberadaan sumber air ini, maka kiranya bisa dibangun hipotesa atau asumsi: bahwa keberadaan mata air digunakan para muballigh untuk membangun bhaqafan sebagai fasilitas ibadah bagai yang perjalanan jauh. Atau dengan kata lain bahwa bhaqaf dibangun dekat dengan mata air sebagai fasilitas bagi para pejalan kaki dalam perjalanan jauh (musafir).


Perkembangan Bhaqaf di Masa Sekarang

Di dalam perkembangan saat ini, di mana transportasi sudah sedemikian maju dari masa sebelumnya, jumlah pemilik kendaraan bermotor sedemikian banyak dan jauh lebih banyak jika dibandingkan pemilik kuda di masa sampai tahun 1970-an, maka keberadaan (eksistensi), dan fungsi bhaqaf menjadi sedemikian berkurang. Setidaknya sampai pertengahan tahun 1990-an bangunan bhaqaf di Sombher Kenik sudah sedemikian tidak terawat. Dan pada tahun 2000-an telah dihancurkan. 

Namun demikian, kenyataan tidak tersebut tidak dapat digeneralisir untuk semua bangunan bhaqaf atau waqofan. Beberapa kenyataan justru menunjukkah hal yang demikian uniknya. Waqofan di Desa Dilem Kecamatan Kepanjen Kab. Malang tetap dipertahankan dalam bentuk semulanya yang terbuat dari bambu. Demikian pula waqofan di desa Kepuharjo Kec. Karangploso berkembang menjadi mushallah yang di sana dilaksanakan shalat jama’ah lima waktu secara rutin. Hal yang sama terjadi dengan bhaqaf di Sombher Taman Kecamatan Pakong Kab. Pamekasan, yang bahkan meskipun dinamai mushallah, namun bangunannya justru mirip masjid, dan kegiatan berjamaah dilaksanakan secara rutin. Para musafir juga terlihat menginap di sana untuk beberapa hari atau pekan.

Kiranya, fenomena bhaqaf atau waqofan ini adalah salah satu kebudayaan unik Islam di Nusantara.



Kepanjen, Malang, 10 Maret 2021; 16:08 WIB


R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd



Referensi


Anis, Ibrahim, (et. al.). 2004. Mu’jam Al-Washith. Majma’ah Al-Lughah Al-Arabiyyah-Muassasah Al-Lughah Ad-Dauliyah

Ad-Dimasyqi. tt. Kifayah Al-Akhyar fi Halli Ghayat Al-Ikhtishar. Surabaya: Maktabah Al-Hidayah

Al-Malibari. tt. Fathul Mu’in Syarh Qurrat Al-Ain. Semarang: PT. Karya Thoha Putra

Hasan, Nor. 2012. Kobhung, Bangunan Tradisional Masyarakat Madura. (https://www.lontarmadura.com/kobhung-bangunan-tradisional-masyarakat-madura/); diakses tanggal: 10/03/2021; 16:19 WIB

Kholis, R. Ahmad Nur. 2019. Kobhung dalam Tradisi Sosial, Agama dan Ekonomi Orang Madura. (https://www.nu.or.id/post/read/111785/kobhung-dalam-budaya-madura--fungsi-sosial--ekonomi--dan-agama); diakses tanggal: 10/03/2021; 16:20 WIB

Mohsi. 2019. Langghar, Kophung dan Bhaqaf; Konservasi Kebudayaan Khazanah Keislaman Madura. Dalam: Jurnal Sabda, Volume 14, Nomor 1, Juni 2019.

Mu’jam Al-Ma’aani. (onl-ine)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar